Sejarah Jamu Dari Awal 1900-an Hingga Abad ke-21
"Setelah ramai-ramai diteliti di masa kolonial hingga menjelang kemerdekaan, jamu menemui babak baru pasca-peperangan. Ikatan Dokter Indonesia mulai menaruh perhatian & muncul beberapa komunitas pengusaha hingga peneliti jamu dari Indonesia"Diterbitkan oleh : Farida - 09/01/2025 14:46 WIB
3 Menit baca.
Sejarah jamu terkait perkembangan dan perubahannya sangat menarik untuk dibahas. Apalagi bila rentang waktu pembahasannya lebih dari 100 tahun. Banyak sekali perubahan yang terjadi terkait jamu dalam kurun waktu tersebut. Sebagai lanjutan artikel perjalanan sejarah jamu sebelumnya, kali ini kami akan membahas kondisi jamu di Indonesia dari tahun 1900-an hingga sekarang. Data dalam artikel ini masih dikutip dari jurnal Jamu, Obat Tradisional Asli Indonesia Pasang Surut Pemanfaatanya di Indonesia oleh Ernie H. Purwaningsih, Departemen Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), 2011, tentunya dengan tambahan hasil riset tim redaksi Jamupedia.
Pada awal tahun 1900-an penggunaan jamu mengalami penurunan cukup drastis karena penemuan terbaru tentang bakteri oleh Louis Pasteur. Selain itu, penemuan Sinar X juga memberi andil jamu semakin ditinggalkan. Meski demikian, di Indonesia justru muncul pengusaha-pengusaha jamu yang beberapa di antaranya nantinya menjadi pabrik jamu multi-nasional. Pabrik-pabrik tersebut antara lain, Jamoe Iboe (1910), Nyonya Meneer (1919), Jamu Jago (1918), dan Sido Muncul (1940).
Memasuki tahun 1930, kondisi pasca-perang membuat dunia belum stabil. Salah satu efeknya adalah mahalnya harga obat. Oleh karena itu, dr. Abdul Rasyid dan dr. Seno Sastroamijoyo menganjurkan penggunaan jamu sebagai langkah preventif. Pada 1939, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menunjukkan ketertarikan terhadap jamu dengan diadakannya konferensi. Dalam konferensi itu diundang dua pengobat tradisional yang kemudian mempraktikkan pengobatan menggunakan jamu di depan dokter-dokter peserta konferensi. Masih di tahun 1939, di Kota Solo, Jawa Tengah diadakan Konferensi I Jamu yang dihadiri juga oleh para dokter.
Sumber: https://tirto.id/
Hampir 30 tahun berselang, Kota Solo kembali menjadi tuan rumah Konferensi II Jamu pada 1966. Konferensi tersebut bertujuan untuk kembali mempromosikan jamu setelah seolah-olah tenggelam akibat efek perang dan krisis sosial ekonomi, terutama di Pulau Jawa.
Pada 1978 para peneliti jamu mendirikan Himpunan Ahli Bahan Alami Indonesia (HIPBOA). Anggotanya kebanyakan apoteker dan beberapa dokter. Salah satu dokter yang turut mendirikan HIPBOA adalah dr. Sardjono Oerip Santoso. Dua tahun berdiri, HIPBOA akhirnya berganti nama menjadi Perhimpunan Peneliti Bahan Alam (PERHIPBA).
Semakin berkembangnya pabrik-pabrik jamu dan semakin bermunculannya pengusaha jamu, maka pemerintah mengeluarkan peraturan untuk melindungi para konsumen. Pada 1990 diteken Peraturan Menteri kesehatan no.246/MENKES/PER/V/1990 yang mengatur izin usaha industri obat tradisional dan pendaftaran obat tradisional. Kemudian ada Keputusan Menteri Kesehatan No.584/MENKES/SK/VI/1995 tentang Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T).
Era Abad ke-21
Kemajuan zaman bisa dibilang membawa angin segar untuk jamu, meski bukan berarti tanpa hambatan. Memasuki tahun 2000-an, semakin banyak seminar dan konferensi yang mempromosikan manfaat jamu. Pada 2007 beberapa kementerian menyusun road map tentang jamu atau obat tradisional Indonesia. Di bawah koorinator Kementerian Ekonomi dan Industri, akhirnya dibentuklah event nasional Hari Kebangkitan Jamu. Pada 28 Mei 2008, Hari kebangkitan Jamu Indonesia diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sedang naik daun, muncullah beberapa peraturan pemerintah yang mendukung pemanfaatan jamu di ranah medis. Salah satunya Keputusan Menteri Kesehatan no.121 tahun 2008, tentang standar pelayanan medik herbal. Kemudian UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehaan. Di pasal 48 UU tersebut dituliskan bahwa pelayanan kesehatan tradisional termasuk dari 17 upaya kesehatan.
Upaya pemerintahan itu juga didukung IDI yang mulai membentuk Bidang Kajian Pengobatan tradisional pada 2009. Untuk lebih memberi rasa aman pada konsumen jamu, Badan Pengawas Obat dan Makanan BPOM juga secara bertahap menerbitkan aturan klasifikasi obat tradisional yang layak edar.
Memasuki tahun 2018 hingga sekarang, jamu semakin dekat dengan masyarakat dan menjangkau lebih banyak rentang usia. Salah satunya karena munculnya berbagai inovasi olahan jamu. Kafe-kafe dengan menu jamu kekinian semakin hari semakin menarik minat generasi muda. Selain itu perkembangan teknologi juga membantu distribusi jamu menjadi semakin mudah.