Jamupedia

Gelombang Baru Jamu di Acaraki

"Jika mengetik jamu modern di laman Google, Acaraki selalu berada di atas. Sejak mula kehadirannya, Acaraki terus menarik perhatian. Acaraki adalah wajah baru jamu di era milenial. Muda, segar, stylish, dan inovatif namun tetap memiliki akar tradisi jamu yang kuat. Tak heran jika Acaraki berhasil merengkuh anak-anak muda untuk kembali mengenal dan mengkonsumsi jamu. Kebaruan dalam proses pembuatan dan penyajian yang diaplikasikan pada minuman ?kuno? ini berhasil membuat jamu ?naik kelas?. Bagi Jony Yuwono, founder dan owner, Acaraki adalah perjalanan idealis dan filosofis."

Diterbitkan oleh : Farida  -  28/05/2021 18:20 WIB

3 Menit baca.

Kata jamu dipercaya berasal dari bahasa Jawa Kuno: Djampi lan Usodo. Djampi berarti doa, sedangkan usodo berarti kesehatan. Jika dua pengertian tersebut digabungkan, jamu memiliki makna doa kesehatan. “Jadi menurut penafsiran kami, para leluhur kita menganggap jamu sebagai apa pun yang dipakai oleh tubuh kita dengan tujuan kesehatan dan dikukuhkan dengan doa,” tutur Jony.

Sumber gambar: www.paprikaliving.com

Bagi Jony Yuwono, jamu tidak selalu sama dengan obat, tapi obat adalah salah satu bentuk dari jamu. Bentuk lainnya bisa berupa makanan (pemakaian kunyit, jahe, lengkuas sebagai bumbu dapur), minuman (seperti wedang), bahkan kosmetik (Sari Ayu dan Mustika Ratu, menyebut produk kecantikan-nya sebagai Jamu). 

Menurut Jony, membandingkan jamu dengan obat modern itu seperti membandingkan pencak silat dengan tinju. Kalau kedua praktisi tersebut beradu, siapa yang akan menjadi pemenangnya tergantung pada peraturan siapa yang dipakai. Jika praktisi pencak silat diminta untuk melawan petinju di ring tinju dengan peraturan tinju, kemungkinan pencak silat untuk menang akan sangat rendah. 

 

 

Peraturan atau tolak ukur dari obat modern adalah stopwatch. Jony mencontohkan, jika ia mengalami sakit kepala dan minum paracetamol , dengan hitungan stopwatch, yang diukur adalah berapa cepat sakit kepalanya hilang. Jika khasiat jamu diukur dengan stopwatch, jelas akan susah untuk jamu bisa menang melawan obat modern.

Prasasti Madhawapura peninggalan zaman Majapahit mencatat beberapa profesi yang ada pada zaman tersebut: Abhasana sebagai pembuat pakaian, Angawari sebagai pembuat kuali dan Acaraki sebagai peracik jamu. Konon, seorang Acaraki pada masa lalu dipercaya untuk berdoa, bertapa, dan berpuasa sebelum meracik jamu untuk mengumpulkan energi positif. Ketika jamu sudah disediakan, konsumen pun diminta berdoa untuk mengakui bahwa Tuhan sebagai Sang penyembuh utama.

Jadi khasiat jamu tidak hanya bergantung pada peraciknya, tetapi juga kondisi mental dan spiritual penggunanya. Maka, membuktikan khasiat jamu selalu menjadi tantangan bagi dunia medis. Namun, walau jamu belum terbukti secara klinis bukan berarti jamu tidak berkhasiat. Itulah yang menjadi alasan Acaraki untuk mencoba mengeksplorasi jamu dari sisi seni dan budaya.

Jika kita melihat praktek jamu gendong, ibu jamu gendong membuat jamu yang sama setiap hari (bukan senin beras kencur, selasa kunyit asam, rabu pahitan, dan seterusnya). Rute perjalanan ibu jamu gendong pun cenderung sama setiap hari, mengitari rute yang sama dan berhadapan dengan konsumen yang sama. Artinya, jamu yang dijajakan oleh ibu jamu gendong adalah jamu yang bisa dikonsumsi setiap hari. Hal ini menunjukkan bahwa jamu merupakan suatu minuman gaya hidup seperti halnya kopi maupun teh. 

Acaraki memproses jamu dengan mengadopsi proses pada kopi. Kedua jenis minuman ini memang memiliki persamaan. Beberapa persamaan yang bisa ditemukan antara lain sama-sama dari tanaman, sama-sama memiliki rasa yang pahit, sama-sama diminum untuk diambil khasiatnya (pada awalnya kopi diminum untuk menghalau kantuk), sama-sama diproses dengan cara digodog (pada awalnya, biji kopinya ditumbuk memakai alu atau lesung kemudian digodok). Kopi yang sudah berumur ratusan tahun bisa disebut kekinian dan menjadi trend karena mengalami beberapa gelombang evolusi. 

 

 

Pada  awalnya kopi digodok di rumah, lalu muncul gelombang pertama  dalam bentuk kopi instan yang bisa diseduh dengan cepat, kepraktisan menjadi kunci. Selanjutnya muncul gelombang kedua  dengan hadirnya inovasi di berbagai alat dan mesin kopi sehingga kopi dapat diseduh di depan pelanggan di café oleh para barista. Cita rasa menjadi kunci, dengan munculnya berbagai menu minuman dengan bahan dasar kopi seperti Latte, Frappuccino, Macchiato, dan lain lain. Terakhir gelombang ketiga, saat terjadi mulai muncul kesadaran dari para peminum kopi terhadap para petani kopi dan kopi yang dihasilkan. Integritas bahan menjadi kunci, apresiasi terhadap daerah asal biji kopi seperti Kopi Gayo, Toraja, Kintamani, menghasilkan istilah kopi single origin.

Menurut Jony, jamu masih berhenti di gelombang pertama, yaitu kalau tidak digodok di rumah, ya disajikan dalam bentuk sachet instan. Acaraki mencoba memperkenalkan gelombang baru untuk jamu, yang ia sebut sebagai ‘Jamu New Wave’, jamu diseduh di depan pelanggan oleh para acaraki sambil tidak lupa untuk membantu para petani jamu demi meningkatkan integritas bahan jamu.

Riset yang telah dilakukan oleh Jony dan tim Acaraki menunjukkan bahwa daerah penghasil bahan jamu akan memengaruhi proses pengolahan dan cita rasa yang dihasilkan. “Sejalan dengan kopi, bahan jamu dari daerah yang berbeda menghasilkan cita rasa yang berbeda. Sebagai contoh, kami memasok kencur dari Lampung dan Wonogiri. Temuan kami adalah kencur dari Lampung lebih harum (aromatik) ketika diseduh tapi kurang padat. Kencur dari Wonogiri menunjukkan karakteristik yang sebaliknya, tidak terlalu harum, tapi rasanya tebal” tuturnya.  

Oleh karena itu, kedua kencur tersebut akan mengalami penyesuaian teknik penyeduhan yang berbeda di kafe Acaraki. Teknik Pourover V60 akan sangat sesuai untuk kencur Lampung karena teknik tersebut memang dapat mengeluarkan secara optimal aroma dari bahan. Untuk kencur Wonogiri, akan cocok diseduh dengan Teknik Infusion French Press di mana bahan di rendam dalam air panas ataupun dengan Teknik Manual Espresso di mana bahan diseduh di bawah tekanan.

“Perbedaan cita rasa seperti halnya kencur juga terjadi pada beras, kunyit, jahe dari berbagai pelosok Indonesia. Bhinneka adalah kekuatan kita, jika sudah ada penjelajahan terhadap kopi dan teh nusantara, kelak kita berharap untuk menjelajah jamu nusantara,” lanjut Jony. 

Saat ini Acaraki menyajikan dua jenis jamu, Specialty Jamu dan Jamu New Wave. Serupa dengan Specialty Coffee, Specialty Jamu adalah Jamu yang diseduh tanpa tambahan apa pun sehingga daerah asal, bahan, serta teknik penyeduhan menjadi penentu rasa. Untuk saat ini ada 5 teknik penyeduhan yaitu:

  1. Saring – Pourover V60
  2. Tubruk – Infusion French Press
  3. Pekat – Manual Espresso
  4. Syphon (hanya di Acaraki Kemang)
  5. Aeropress (Hanya di Acaraki Kemang)

Sedangkan Jamu New Wave adalah varian menu dengan bahan dasar Jamu di mana soda, madu, susu, es krim, dll ditambahkan untuk menjadi minuman yang segar. 3 menu paling favorit di Acaraki adalah:

  1. Saranti (Beras Kencur+Susu+Krimer)
  2. Golden Sparkling (Kunyit Asam+Soda+Gula)
  3. Bereskrim (Beras Kencur+Es Krim)