Etnomedisin di Serat Centhini & Aplikasinya di Era Modern
"Mengutip dari buku ''Serial The Power of Obat Asli Indonesia Ramuan Obat Tradisional Indonesia Serat Centhini, Buku Jampi dan Kitab Tibb'' terbitan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia, etnomedisin di Serat Centhini merupakan hal penting untuk mengawali penelitian tanaman obat"Diterbitkan oleh : Windri Astuti - 13/11/2024 09:50 WIB
3 Menit baca.
Kondisi pandemi membuat sebagian orang mulai kembali menaruh perhatian lebih ke teknik pengobatan tradisional. Hal itu menyebabkan istilah etnomedisin kembali ramai diperbincangkan. Menurut laman perpusnas.go.id etnomedisin adalah cabang dari ilmu antropologi medis yang membahas tentang asal mula, penyebab, hingga obat-obatan untuk penyakit tertentu menurut kebiasaan dan kebijakan kelompok masyarakat tertentu.
Sumber: mediaindonesia.com
Tahukah Sobat, kalau Serat Centhini membahas banyak hal tentang etnomedisin di masyarakat Jawa kuno? Serat Centhini merupakan karya sastra fenomenal bak ensiklopedia yang memuat hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat di Pulau Jawa. Disusun pada 1814 hingga 1823, Serat Centhini mengabadikan mulai dari kebiasaan masyarakat, kebudayaan, agama, mistis, makanan, minuman, hingga pengobatan.
Mengutip artikel berjudul ”Menyimak Pesan Etnomedisin dalam Serat Centhini” oleh Dewi Ayu Larasati, staf pengajar Universitas Sumatera Utara, yang dimuat di laman harianbhirawa.co.id, diungkapkan bahwa orang-orang tua zaman dahulu mengajarkan dan mempraktikkan cara memelihara kesehatan warga dan lingkungan dengan cara memanfaatkan bahan-bahan alam yang ada di lingkungan sekitar.
Sumber: https://langgar.co/
Dewi merangkum, tertulis dalam Serat Centhini salah satu cara menjaga kesehatan yang sesuai dengan kearifan lokal adalah mengonsumsi makanan khas lokal yang bergizi. Secara tersirat, Serat Centhini memberikan imbauan kita tidak perlu mengimpor makanan dari luar, karena semua bahan makanan yang diperlukan untuk menjaga kesehatan itu bisa tumbuh dan terdapat di tanah Indonesia.
Potongan cerita tentang makanan khas tradisional terdapat di Jilid I Tembang Pangkur, kaca 221. Cerita itu mengisahkan perjalanan Jayengsari dan Niken Rancangkapti saat menuju kaki Pegunungan Tengger. Di sebuah desa bernama Tosari keduanya disambut oleh sesepuh desa bernama Ki Buyut Sudarga. Saat menginap di desa tersebut keduanya diberi banyak sekali suguhan yang semuanya merupakan olahan alam dari lingkungan sekitar desa.
Terkait etnomedisin di Serat Centhini lebih banyak dibahas di Jilid III di mana dijelaskan berbagai ramuan tradisional dari tumbuhan untuk mengatasi berbagai penyakit. Beberapa contoh yang dirangkum Dewi dalam artikelnya adalah ramuan untuk panas dingin yang terdiri dari empat macam, yakni sirih ketemu ruas, bengle, dlingo, daun beringin, dan temu ireng.
Kemudian ada juga ramuan untuk obat batuk yang menggunakan temu kunci, asam kawak, kemudian dicampur minyak kelapa. Khusus dalam penjelasan obat batuk ini ditambah dengan imbauan membaca doa sebelum meminum obat.
Mengutip dari buku ”Serial The Power of Obat Asli Indonesia Ramuan Obat Tradisional Indonesia Serat Centhini, Buku Jampi dan Kitab Tibb” terbitan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia, etnomedisin di Serat Centhini merupakan hal penting untuk mengawali penelitian tanaman obat
Melalui penelitian, data klaim mengenai khasiat obat bisa terus ditambah, kemudian bisa juga diketahui cara produksi yang lebih baik sehingga tercipta standar obat-obat dengan bahan baku dari alam.
Masihkah etnomedisin di Serat Centhini relevan dengan masa sekarang?
Meski belum semua obat tradisional mendapatkan landasan ilmiah terkait khasiatnya, namun sejak zaman dahulu obat dengan bahan baku tanaman ini masih terus digunakan oleh masyarakat sampai sekarang.
Salah satu yang paling dikenal adalah jamu. Hal ini membuktikan bahwa etnomedisin di Serat Centhini tetap masih relevan sampai sekarang. Rempah-rempah seperti jahe, kunyit, hingga asam jawa masih tetap digunakan sebagai obat dari dulu hingga sekarang.
Imbauan di Serat Centhini tentang menggunakan bahan-bahan alami dari lingkungan sekitar juga masih diaplikasikan hingga sekarang, terutama di daerah-daerah yang dikenal sebagai sentra jamu atau kampung jamu.