Ini Alasan Penjajah Belanda Suka & Teliti Jamu Dari Indonesia
"Keterbatasan pengetahuan mengenai obat kimia dan jauhnya jarak Belanda dan Indonesia kerap membuat obat-obatan yang dibawa rusak dan kehilangan khasiatnya. Di saat seperti itu jamu menjadi jalan keluar"Diterbitkan oleh : Windri Astuti - 23/09/2024 12:00 WIB
0 Menit baca.
Jamu sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu kala. Berbagai bukti artefak dan cerita turun menurun menjadi bukti nyata. Oleh karena itu bukan hal yang tidak mungkin kalau di zaman penjajahan Belanda, Jamu pun sudah ada bahkan menjadi perhatian ilmuwan Belanda.
Penelitian mengenai jamu atau pengobatan tradisional mulai digalakkan karena pemerintah kolonial Belanda mengalami kesulitan terkait penyediaan obat-obatan kimia. Awalnya semua obat-obatan dikirim dari Belanda. Jarak yang jauh membuat perjalanan memakan waktu panjang sehingga banyak obat kadaluarsa. Tak hanya itu, alasan lain karena belum ada teknologi pengemasan yang lebih modern dan obat-obatan sering rusak saat sampai di tempat tujuan. Bahkan lebih buruknya lagi obat kehilangan khasiatnya.
Sumber: historia.id
Dikutip dari laman nationalgeographic.grid.id, menurut sejarawan Fadly Rahman selain alasan tersebut di atas, banyaknya temuan medis tentang khasiat jamu membuat ilmuwan kolonial Belanda semakin tertarik. Bahkan muncul berbagai aturan pemerintah kolonial untuk membudidayakan tanaman obat di negeri jajahan, salah satunya di Hindia Belanda.
Seperti dilaporkan di laman historia.id, mengutip buku Healers on the Colonial Market karya Liesbeth Hesselink, penelitian terkait jamu, pengobatan tradisional, atau herbal sangat menguntungkan Belanda baik secara praktis maupun keilmuan. Untuk memaksimalkannya dikeluarkan perintah bahwa petugas kesehatan harus meneliti pengobatan tradisional dan kemampuan para dukun. Perintah itu tertuang pada pasal 53 Staatsblad Nomor 68 tahun 1827. Dari peraturan itu terciptalah laporan terperinci dari tiap unit di zaman kolonial.
Sumber: historia.id
Salah satu ilmuwan Belanda zaman kolonial yang meneliti jamu pengobatan herbal Indonesia adalah Jacobus Bontius. Menurut keterangan Fadly, Jacobus menggunakan jamu untuk mengobati Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen.
Penelitian Jacobus diterbitkan menjadi empat seri buku berjudul De medicina Indorum. Semua diterbitkan setelah Jacobus meninggal dunia. Jacobus disebut sebagai orang yang pertama kali mendeskripsikan penyakit beri-beri secara medis. Dia juga meneliti epidemi disentri di Pulau Jawa pada 1628. Dia termasuk orang pertama yang meneliti cabang ilmu medis di daerah tropis.
Selain Jacobus, ada nama-nama lain yang juga meneliti jamu di zaman kolonial Belanda. Salah satunya adalah Freidrich August Carl Waitz. Masih dikutip dari historia.id, Friedrich merupakan seorang dokter yang membuktikan khasiat jamu daun sirih. Hasil penelitiannya membuktikan daun sirih mengandung agen narkotika yang berfungsi mengobati batuk menahun. Selain itu dia juga menguji khasiat air rebusan kulit kayu sintok sebagai obat masalah pencernaan.
Bukti lain mengenai keseriusan pemerintah kolonial dalam meneliti jamu adalah dibentuknya The Batavian Society of Arts and Sciences pada 1778. Lembaga itu berfokus meneliti jamu dan juga mengadakan seminar terkait jamu. Pemerintah Kolonial Belanda membangun Kebun Raya Bogor karena bertujuan sebagai tempat penelitian. Di tempat tersebut dicari tanaman yang bisa menguntungkan perekonomian Belanda dan meneliti manfaat tanaman obat.
Semenjak penelitian terus digalakkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, semakin banyak pula ilmuwan, dokter, dan sarjana Belanda melakukan penelitian terhadap jamu Indonesia. Jaringan komunikasi yang mumpuni dan terstruktur membuat sebuah resep jamu yang sudah diteliti khasiatnya bisa segera disebarkan di kalangan orang Belanda. Semenjak saat itu pengobatan herbal jamu rutin dipakai untuk mengobati penyakit orang Belanda. Bahkan seiring berjalannya waktu, jamu juga dikonsumsi rutin oleh orang Belanda pada masa itu.